Selasa, 08 Juni 2010

Belajar dari kupu kupu

Kisah ini bermula ketika seseorang pria menemukan sebuah kepompong kupu-kupu.

Ia melihat diujung lubang kecil kepompong, tampak seekor ulat sedang berusaha keluar dari kepompong. Nampaknya ini adalah saatnya sang ulat terbang sebagai kupu-kupu.
Tertarik dengan pemandangan yang jarang disaksikannya, ia duduk mengamati cukup lama. Setelah lama menunggu ternyata ulat tersebut kesulitan membongkar selubung kepompong. Ulat itu terlihat berjuang begitu keras tapi haya sedikit rongga yang terbuka.
Akhirnya pria itu memutuskan untuk sedikit memberi bantuan. Ia mengambil gunting dan memotong beberapa sisi kepompong sehingga ulatnya mudah keluar.
Dengan bantuan kecil tersebut akhirnya sang ulat dengan leluasa keluar dari kepompong.
Akan tetapi, ulat bersayap ini atau kini sudah menjadi kupu-kupu, tak kunjung terbang. Sayapnya lunglai seperti tak bertenaga. Ulat ini hanya berjalan dan berusaha mengepakkan sayapnya, tapi ia tak sanggup terbang. Ulat ini akhirnya mati, sebagai kupu-kupu yang tak pernah terbang.

Apa yang terjadi?
Pemuda ini merasa dirinya menolong ulat dengan memberi celah lebih lebar pada kepompong akan tetapi justru yang dilakukannya merupakan penyiksaan terhadap sang calon kupu-kupu.
Pemuda itu tidak tahu bahwa justru proses sulit keluar itulah yang akan membuat sang ulat bisa terbang sebagai kupu-kupu.
Proses menembus kepompong alamiah akan membuat aktifnya cairan dan fungsi organ tertentu pada ulat untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu.
Jika proses itu diintervensi maka akhirnya ulat itu justru tidak bisa terbang.

Bagaimana dengan kehidupan?
Kadang seringkali kita merasa menolong orang lain padahal justru menjerumuskannya pada keburukan.

Orang tua yang panik melihat anaknya belum mengerjakan PR menjelang berangkat sekolah memutuskan untuk membantu mengerjakan PR anaknya. Ia membuat jawabannya dan anaknya menyalin.
Orang tua itu berpikir sedang menyelamatkan anaknya dari hukuman di kelas.
Padahal ia baru saja menjerumuskan anaknya untuk menjadi anak malas yang tidak bertanggung jawab.
Kalau saya biasanya memilih untuk membiarkkan anak yang lupa PR untuk menyelesaikan sendiri, kalau akhirnya tidak selesai, saya biarkan mereka berhadapan dengan guru dan kalau dihukum dikelas, biarkan saja.
Karena proses itu akan mendewasakan dan membuat mereka punya tanggung jawab.
Membantu PR anak jelas bagus tapi bukan dengan memberikan jawaban, tapi membiarkan mereka menemukan jawaban.

Kita melihat seorang teman terlibat narkoba. Kita nasehati ia melawan. Kalau dilaporkan dia diihukum sekolah. Karena takut dia dihukum maka kita tidak laporkan dan kita biarkan. Mungkin sekilas seperti setia kawan, padahal kita juga sedang berperan menyaksikannya bunuh diri pelan-pelan.

Sekarang saatnya kita lebih bijak dalam bertindak.
Ketika menolong pastikan kita sedang menolong, bukan sebaliknya.
Apakah Anda punya contoh lain?

1 komentar:

  1. postingan ini... kalo bisa dipersembahkan buat Merry aja. dia kan suka kupu kupu, dia juga suka sama warna ungu.
    hehehe pas kan?

    BalasHapus